Seperti tak percaya aku mendengar kabar itu: kau sudah pergi untuk selamanya. Dan kenangan demi kenangan berkelebat cepat di benakku, menyisakan satu nama: Rahmat Abdullah.
Kita memang tak banyak bertemu, tak banyak bercakap. Tapi percayakah kau, aku menjadikanmu salah satu teladan diri. Kau menjelma salah satu sosok yang kucinta. Tahukah kau, hampir tak ada tulisanmu yang tak kubaca? Dan setelah membacanya selalu ada sinar yang menyelusup menerangi kalbu dan pikiranku. Tidak sampai di situ, buku-bukumu selalu membuatku bergerak. Ya, bergerak!
Kau mungkin tak ingat tentang senja itu. Tapi aku tak akan pernah melupakannya. Saat itu kau baru saja pulang dari rumah sakit untuk memeriksakan kesehatanmu. Aku dan seorang teman menunggumu. Kami membutuhkanmu untuk memberi masukan terhadap apa yang tengah kami kerjakan. Tanpa istirahat terlebih dahulu, dengan senyuman dan kebersahajaan yang khas, kau menemui kami. Tak kau perlihatkan bahwa kau sedang tak sehat. Bahkan kau bawa sendiri makanan dan minuman untuk kami. Dengan riang kau menyemangati kami.
“Ini kebaikan yang luar biasa,” katamu. “Bismillah. Berjuanglah dengan pena-pena itu!”
Lalu kami mengundangmu untuk hadir pada acara milad organisasi kecil kami. Sekadar menyampaikan undangan, dan tak terlalu berharap kau datang, karena kami tahu kau sangat sibuk dengan begitu banyak persoalan ummat.
Hari itu, bulan Juli 2002, milad ke 5 organisasi kami: Forum Lingkar Pena. Semua panitia direpotkan oleh banyak hal yang harus dikerjakan. Aku masih sempat bertanya pada panitia: “Adakah yang menjemput Pak Taufiq Ismail dan Pak Rahmat Abdullah?”
Panitia menggeleng. Banyak yang harus dikerjakan. Tak ada mobil atau tenaga untuk menjemput.
Sudahlah, pikirku. Pak Taufiq dan Pak Rahmat terlalu besar untuk hadir di acara seperti ini.
Aku hampir melompat ketika melihat Pak Taufiq Ismail datang sendirian dengan taksi dan menyapa kami riang. Dan aku tak percaya ketika tak lama kemudian kau muncul!
“Ustadz, terimakasih sudah datang. Kami tidak menyangka…,” sambutku.
Kau tersenyum. “Saya sudah agendakan untuk datang,” katamu. “Ini acara FLP. Istimewa.”
Mataku berkaca. Ini ustadz
“Maaf ustadz tidak dijemput. Ustadz naik apa tadi?”
Naik bis. Tempatnya mudah dicari,” katamu biasa.
Kau sempat turut memberikan award dalam acara tersebut dan memimpin doa penutup. Aku menangis mendengar doa yang kau lantunkan, Ustadz. Kau berulangkali mendoakan agar organisasi kami: FLP selalu bisa melahirkan para pemuda yang tak akan berhenti berjuang dengan pena….
Pada akhir acara, kau turut berjongkok bersama para pemuda lainnya dan menandatangani spanduk yang kami gelar bertuliskan “Sastra untuk Kemanusiaan.”
“Saya mencintai sastra dan suka membuat puisi,” ceritamu.
Hari itu kehadiranmu benar-benar memberi semangat baru bagi kami.
Ustadz, aku selalu mengenangmu sebagai suami dan ayah yang baik dalam keluarga. Sebagai guru sejati bagi ribuan da’i. Dan ketika kau terpilih menjadi anggota DPR RI tahun 2004 lalu, tak ada yang berubah darimu, kecuali usaha yang lebih keras untuk membuat rakyat tersenyum. Dalam keadaanmu yang sederhana, kau tak berhenti memberi zakat dan infaq dari gajimu. Kau satu dari sedikit orang yang pernah kutemui, yang sangat berhati-hati dengan amanah dan berjuang untuk menunaikannya tanpa cacat.
Ah, pernahkah kau meminta tarif untuk mengisi ceramah? Tak ada. Kau bahkan pernah berkata: “Alhamdulillah ada lagi orang yang mau mendengarkan taushiyah dari hamba Allah yang lemah ini.”
Terakhir kali kita bertemu, Ustadz, di sebuah jalan raya, sekitar akhir tahun lalu. Dan aku tak percaya, kau—anggota dewan yang terhormat--- masih saja menyetop kopaja.
Kini dalam usia 53 tahun, kau pun kembali untuk selamanya. Ribuan orang, tak terhingga orang, datang mengiringi untuk terakhir kali, sambil tak henti bersaksi tentang keindahanmu.
(Helvy Tiana Rosa)
Tulisan2 beliau di Kolom Pilar/Asasiyat Majalah Tarbawi adalah tulisan2 yg penuh makna
sering beliau menuangkan kata2 puitis yang penuh makna dalam tulisan2nya...
hal itu yg membuat saya sangat suka dgn tulisan2 beliau :
Hidup Tanpa Kesadaran kebersamaan
adalah gersang gurun yang tak menumbuhkan pohon apapun
selain kaktus dan dedurian
yang menyakitkan
kecuali ada oase,
secercah harapan ditengah ditengah keputusasaan
apatisme dan kematian hati
( KH Rahmat Abdullah )
Oase itu kini telah pergi...
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun....
Selamat jalan ustadz...
Semoga Amal ibadah dan segala kebaikannya didunia
mengantarkan beliau ke surgaNya.amiin
(Diniauliya)
Innalillahi wainna'ilaihi raji'un...
Ada yang merenggas dalam relung
Menyentak sukma, mengiris garis-garis kalbu hingga membiru!!
Angin berita yang datang tiba-tiba menyapaku ...
tentang mu.....
tentang pergi mu...
tentang perjuangan mu...
: Hingga aku tergugu, bisu.
Tapi semuanya takkan pernah redup..
Karena cita dan karya mu akan senantiasa hidup...
.... Sungguh !!
: Hari ini langit jakarta berduka.....
telah pergi dengan Cinta
Sang Mujahid pembela cahaya
teruntuk : Guru Tercinta Ust. Rahmat Abdullah
(Maman Suarrahman)
Ya Allah, saya bersaksi, beliau telah memberikan siang dan malam hidupnya untuk dakwah ini. Ya Waduud, saya bersaksi, beliau amat besar cintanya pada jihad dan umat. Ya Karim, saya bersaksi, memulia jiwa-jiwa dibasuh tarbiyahnya. Ya Rahim, satukan dia dengan Penghulu kami di surga.
(Maimon)
langit hari ini pun basah...
turut menangis
mengantar kembalinya sang mujahid...
duhai Rabb..
semoga kedukaan kami yang mendalam ini tidak melenakan kami dari mengingatMU
semoga kecintaan kami padanya tidak membuat kami mengultuskannya
duhai Rabb...
tempatkanlah ustad terkasih kami bersama kekasihMu, Rasulullah
izinkan kami nanti berjumpa dengan mereka sebagaimana KAU izinkan kami menatap wajahMu....
(Prajuritkecil)
Saya sedang makan malam di pinggiran kota Kuala Lumpur ketika berita duka itu datang, melalui sms yang dikirim isteri saya.
Nafas saya langsung tertahan. Makanan terasa hambar. Kenangan-kenangan perjumpaan dengan beliau melesat memenuhi benak. Saya tidak seberuntung sebagian kawan yang punya kesempatan untuk belajar langsung padanya. Saya hanya bisa menampung tetes-tetes hikmah yang beliau berikan pada ceramah, khutbah atau pertemuan-pertemuan lainnya.
Suatu saat, saya harus mengkonfirmasikan informasi yang saya terima pada beliau. Dia orang yang tepat karena tahu persis tentang konteks informasi yang saya miliki itu.
"Ustadz, saya Tomi, ingin minta waktu untuk ketemu," kata saya via telepon.
"Ini Tomi siapa? Tomi saya? Atau Tomi yang mana?" sahutnya di ujung telepon.
Hati saya tersentak. Siapakah orang yang ia sebut sebagai 'Tomi saya' itu? Sejenak hidung mengembang. Ah, tapi sudahlah. Siapalah saya ini. Ada banyak orang yang menyandang nama Tomi.
"Saya bekerja di TransTV. Dulu saya bekerja di SCTV."
"Oh, kalau begitu, ini Tomi saya. Apa yang bisa saya bantu?"
Jantung saya terasa berhenti. Mulut saya tercekat. Siapakah saya ini sehingga seorang ulama besar seperti ustadz Rahmat berkata seperti itu? Saya hampir tak pernah bertemu secara pribadi dengannya. Saya tak punya prestasi yang mengagumkan yang bisa menarik perhatiannya, padahal ia sibuk mengurus ummat, dengan segudang kesibukan.
Kami pun kemudian bertemu di ruang tamu rumahnya yang bersahaja. Janji satu jam memanjang menjadi hampir lima jam. Pembicaraan berkembang mengasyikkan. Beliau menjelaskan banyak hal tentang informasi yang saya terima sehingga saya bisa memahami konteksnya. Diam-diam saya mengagumi pengetahuan sejarahnya, pergaulannya yang luas serta prasangka baiknya yang tak pernah putus walaupun tak sedikit kawan yang kemudian mengingkarinya.
Setelah itu, seperti biasa, saya menjadi satu diantara banyak orang yang duduk di barisan pendengar, mencerna ucapan-ucapannya yang bernas, tutur katanya yang cermat serta menikmati kecerdasannya mengulas berbagai persoalan, dengan tenang, bijak dan penuh prasangka baik.
Sekali-sekala kami berjumpa, saling berjabat tangan dan berpelukan. Ia selalu menyebut nama saya, dan tampaknya tahu tentang perkembangan saya. Saya masih terus merasa tersanjung diingat oleh seorang ustadz Rahmat.
Suatu ketika salah satu muridnya terjerembab dalam masalah. Ust. Rahmat memintanya menghubungi saya. Saya upayakan sebisa mungkin. Alhamdulillah persoalan beres, meski tak memuaskan. Tak dinyana, ustadz mengirim pesan pendek, meminta saya menghubunginya via telepon. Rupanya ia gagal menghubungi saya karena saya sedang berada di ruang yang menyekat sinyal telepon selular.
Pesan itu saya simpan karena saya tak bisa segera menghubunginya.
Waktu berlalu. Pesan itu masih tersimpan. Dan saya selalu luput memenuhi permintaannya. Rasa bersalah mulai bertumpuk. Bagaimana mungkin saya mengabaikan permintaan beliau.
Saat menerima tugas ke Kuala Lumpur, saya berniat menghubungi beliau lagi, karena saya yakin beliau punya sejumlah informasi yang akan berharga. Sekali lagi, kesibukan kerja yang menumpuk, menindih niatan itu.
Sampai sms duka itu tiba. Yang tertinggal kini penyesalan yang tak akan pupus sampai ajal menjelang nanti.
Selamat jalan ustadz-ku. Semoga dunia tidak menjadi makin muram dengan kepergian ustadz. Semoga Allah Ta'ala mengizinkan saya memenuhi permintaan ustadz, untuk menghubungi ustadz di akhirat nanti.
(Wisat)
No comments:
Post a Comment