“Wahai anakku! Kalaulah wasiat ini untuk kesempurnaan adabmu, aku percaya kau telah mewarisi segala-galanya, tetapi ia sebagai peringatan untuk yang lalai dan pedoman kepada yang berakal.
Andai kata wanita tidak memerlukan suami kerana berasa cukup dengan kedua ibu bapanya, tentu ibumu adalah orang yang paling berasa cukup tanpa suami. Tetapi wanita diciptakan untuk lelaki dan lelaki diciptakan untuk mereka.
Wahai puteriku, Sesungguhnya engkau akan meninggalkan rumah tempat kamu dilahirkan dan kehidupan yang telah membesarkanmu untuk berpindah kepada seorang lelaki yang belum kamu kenal dan teman hidup yang baru. Kerana itu, jadilah 'budak' wanita baginya, tentu dia juga akan menjadi 'budak' bagimu serta menjadi pendampingmu yang setia.
Peliharalah sepuluh sifat ini terhadapnya, tentu ia akan menjadi perbendaharaan yang baik untukmu.
Pertama dan kedua, berkhidmat dengan rasa puas serta taat dengan baik kepadanya.
Ketiga dan keempat, memerhatikan tempat pandangan matanya dan bau yang diciumnya. Jangan sampai matanya memandang yang buruk daripadamu dan jangan sampai dia mencium kecuali yang harum daripadamu.
Kelima dan keenam, memerhatikan waktu tidur dan waktu makannya, kerana lapar yang berlarutan dan tidur yang terganggu dapat menimbulkan rasa marah.
Ketujuh dan kelapan, menjaga hartanya dan memelihara kehormatan serta keluarganya. Perkara pokok dalam masalah harta adalah membuat anggaran dan perkara pokok dalam keluarga adalah pengurusan yang baik.
Kesembilan dan kesepuluh, jangan membangkang perintahnya dan jangan membuka rahsianya. Apabila kamu tidak mentaati perintahnya, bererti kamu melukai hatinya. Apabila kamu membuka rahsianya kamu tidak akan aman daripada pengkhianatannya.
Kemudian janganlah kamu bergembira di hadapannya ketika dia bersedih atau bersedih di hadapannya ketika dia bergembira. Jadilah kamu orang yang sangat menghormatinya, tentu dia akan sangat memuliakanmu.
Jadilah kamu orang yang selalu sepakat dengannya, tentu dia akan sangat belas kasihan dan sayang kepadamu.
Ketahuilah, sesungguhnya kamu tidak akan dapat apa yang kamu inginkan sehingga kamu mendahulukan keredaannya daripada keredaanmu, dan mendahulukan kesenangannya daripada kesenanganmu, baik dalam hal yang kamu sukai atau yang kamu benci dan Allah akan memberkatimu.”
Nasihat di atas seharusnya diterima dengan beberapa asas penting:
- Suami yang dicari adalah suami yang beriman lagi taat kepada perintah Allah.
- Ketaatan kepada suami adalah wajib dengan syarat beliau tidak melakukan perkara yang bertentangan dengan syariat Allah.
- Begitulah hukum Allah, di sana sentiasa ada ‘dua bahagian muka syiling’. Kalau diperhati setiap nasihat di atas, perbuatan kita yang positif akan menghasilkan reaksi dan tindak balas positif juga dengan izin Allah.
Saya sering mengingatkan diri sendiri dan semua bahawa kitai dari muda hingga sekarang dan masih sangat mempercayai bahawa: "Kita hanya boleh mengubah diri sendiri. Percayalah apabila kita berubah, persekitaran dan orang di sekeliling juga akan berubah secara positif.
1 comment:
Suamimu bukan Suamimu
18 Des 06 08:24 WIB
Oleh Ummi Iya
Belakangan ini, tema poligami gencar diperbincangkan di berbagai lapisan. Tidak hanya masyarakat awam, para petinggi negara pun menyuarakan wacana ini, tentunya di balik skenario pihak-pihak yang mencoba mengambil kesempatan. Tak terbayangkan sebelumnya, seorang Aa Gym mampu membuat seantero Indonesia ini gempar dengan keputusannya untuk mengambil langkah poligami.
Banyak kalangan dengan berbagai latar belakang dan prinsip angkat bicara, tentunya suara mayoritas menggugat keputusan Aa Gym yang tentunya (mencoba berhusnuszhon) sudah dipertimbangkan sangat matang. Ibu-ibu yangdulunya ngefans berat Aa Gym puntak pelak pula merasa "sakit hati" atas tindakan sang idola. Padahal, sang isteri, Teh Ninih mah oke-oke saja. Meski banyak pula yang berprasangka bahwa sikap Teh Ninih hanyalah kepura-puraan semata. Mencoba tersenyum di atas luka yang menganga. Benarkah demikian, Teh? Kasihan sekali ummi yang mencoba tulus tetap saja dipandang sebelah mata.
Entah setuju atau tidak tentang poligami, jika merujuk lebih jauh akan ketakutan seorang isteri jika suaminya berpoligami adalah sebuah ketakutan untuk kehilangan suami. Ketakutan tidak mendapatkan cinta dan perhatian sepenuhnya. Sebuah ketakutan untuk berbagi. Namun jika kita mau berkata jujur, bukankah kehidupan ini memang tempatnya untuk berbagi?
Dalam kehidupan yang banyak dijalani ummahat saat ini pun, meski suami tidak berpoligami, tetap kita dituntut untuk membagi suami kita. Dalam drama kehidupan dakwah yang penuh perjuangan dan aktivitas, suami kita bukanlah sepenuhnya milik kita. Suami adalah milik umat tempatnya berjihad, suami adalah milik Allah yang hanya dipertemukan dengan kita dalam istana cinta yang dibangun atas dasar untuk mencari keridaan-Nya. Suatu saat, entah kapan, pasti Dia akan mengambilnya kembali dari kita.Yap, suamimu bukanlah suamimu sepenuhnya. Dia adalah milik dakwah, milik umat. Jika kemudian ada umat lain yang membutuhkan perhatian dan cintanya, sulitkah untuk berbagi?
Pernyataan ini saya harap jangan diartikan sebagai sebuah legitimasi untuk memberikanjalan luas bagi suami untuk "membagi cintanya" tanpa ada alasan kuat yang menjadikannya membuat keputusanitu. Alangkah bijaknya ketika niat poligami itu didasarkan semata untuk memberikan maslahat kepada orang lain, bukan hanya dorongan seksual semata. Belajar dari Rasulullah, setiap memutuskan untuk menikahi seorang wanita pasti ada pertimbangan politis yang diambilnya demi untuk kemaslahatan dakwah dan Islam. Bukankah pertimbangan seperti itu pula yang seharusnya melandasi para suami untuk "mendua."
Sungguh... alangkah lebih legowonya kita ketika harus berbagi dengan kerangka ingin mencari ridha-Nya sehingga nantinya semua bisa menghadap-Nya dengan digelimangi cinta, sepenuh cintahanya untuk-Nya.
- just copy from eramuslim
Post a Comment