Seorang ustaz pernah memberi taujih kepada saya berkaitan dengan Al Hilm. Selama ini saya memahami Al Hilm sebagai satu sikap santun, lemah lembut, dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Nyatanya maksud sebenar di sebalik Al Hilm menurut ustaz tersebut adalah penguasaan sepenuhnya akal terhadap emosi, kesabaran di dalam menahan amarah.
Ustaz tersebut berkata bahawa sesungguhnya bersabar di dalam perang adalah syajaah (keberanian), bersabar di dalam berusaha adalah mujahadah (bersungguh sungguh) dan bersabar di dalam amarah adalah Al Hilm. Taujih ini diberikan kepada saya selepas kami sama sama membaca Al Mathurat selepas solat Subuh di dalam penghabisan Mabit (Malam Bina Iman dan Takwa) kami. Sebenarnya saya di dalam keadaan sedar tak sedar sahaja. Almaklumlah, sehari suntuk sibuk dengan aktiviti. Mata pun dah kuyu sahaja, antara masuk atau tidak taujih yang ustaz tersebut berikan. Tetapi alhamdulillah, gist dari taujih dari ustaz tersebut dapat saya tangkap.
Fenomena perlunya Al Hilm:
Kisah 1
Saya di minta untuk memberi taujih buat akhwat di Tanjung Malim seawal jam 8.00 pagi. Sedangkan perjalanan dari UTP ke Tanjung Malam (mengikut kadar kelajuan biasa) lebih kurang 2 jam. Bermakna saya perlu bertolak dari UTP selewat lewatnya jam 6.00 pagi. Saya mengajak bersama saya beberapa ikhwah yang di harapkan boleh menemani saya kerana liqa semalam yang habis lewat (mengantuk). Kami berjanji untuk bertolak selepas solat Subuh. Nyatanya terdapat seorang ikhwah yang tidak menepati janji. Tak henti henti saya cuba menghubungi hensetnya tapi tidak berhasil. Amarah saya sudah meninggi. Manakan tidak, tidak menepati janji bukanlah sifat seorang dai, tetapi sifat seorang munafik!!.
Saya hampir berputus asa.Tetapi tiba tiba henset saya berbunyi, si ikhwah memohon maaf, dia tertidur. Nak dijadikan cerita, kami bertolak lewat lebih kurang pukul 7 pagi. Saya terpaksa menelefon akhwat di sana memohon maaf berkali kali dan meminta untuk melambatkan waktu pengisian saya ke pukul 8.30 pagi. Di dalam hati saya penuh dengan sumpah seranah, ‘izzah saya telah tercemar dengan keterlambatan ikhwah tersebut. Saya berdoa moga moga saya sempat sampai sebelum pukul 8.30 pagi.
“Afwan akh, ana terlambat bangun.”
“Antum tak pasang alarm ke?” suara saya sudah mula meninggi.
“Pasang akh, tapi tak dengar. Ana letih sangat kot.”
“Kenapa?”
“Tak, semalam ana mesin rumput dekat banglo ikhwah, dah tinggi sangat rumputnya. Sengal sengal jugalah badan ana nie.” jelas beliau.
Memang saya akui, memotong rumput sangat melelahkan. Saya masih ingat ada seorang ikhwah yang demam sesudah memotong rumput di banglo tersebut. Saya secara peribadi tidak pernah mencuba untuk memesin rumput rumput di banglo, tetapi melalui pengalaman pengalaman ikhwah, saya memahami tugas memotong rumput memang melelahkan. Amarah saya mula menurun. Alhamdulillah, saya tak sempat melepaskan amarah saya tadi. Alangkah indahnya andai saya mampu bersangka baik terhadap beliau. Alangkah baiknya andai Al Hilm ada pada diri saya ketika itu. Akhirnya saya tiba ke lokasi jam 8.20 pagi setelah memecut kenderaan Kenari milik ikhwah yang lain dengan kadar 180 km/j. Alhamdulillah saya selamat sampai.
Kisah 2
Peristiwa ini sudah sangat lama berlalu. Seorang manusia telah menghantar email kepada saya, mengutuk saya. Saya jadi begitu emosi. Saya mula melakukan ‘tugas’ saya. Jari jemari saya memainkan peranan menulis bait bait kalimat yang ingin saya ungkapkan. Karangan itu dihasilkan dengan cepat, saya menulis dengan lancar. Mungkin kerana ia datang dari hati. Tetapi malangnya, ia datang dari hati yang beremosi. Tanpa berlengah lagi, saya pun menghantar balasan saya itu. Dalam hati saya terbit satu kepuasan yang tidak dapat nak digambarkan. Biar padan dengan muka dia. Tetapi tidak lama selepas itu, saya menerima kutukan balas. Adus, ini tidak boleh jadi. Maka jari jemari saya pun memainkan peranan kembali. Melakukan serangan balas, tetapi kali ini tiada reserve, all out. Saya melakukan serangan dari segala arah, dari kiri, dari kanan, dari depan dan dari belakang. “Heh, sekarang cuba nko balas lagi. Siap nko aku kerjakan” getus hati saya. Nyatanya memang dia membalas kembali, dan tanpa reserve, all out (saya fikir). Maka saya pun bersiap sedia untuk membalas kembali. Lalu, entah kenapa hati saya terlintas untuk melihat waktu. Nyatanya sudah hampir 3 jam masa berlalu sejak saya membalas kutukan tersebut. Terus saya delete kutukan kutukan saya. Dan terus tutup komputer. Dalam hati saya berkata, nasib baik aku tak hantar kutukan lagi, mau mau sampai esok tak habis. Lalu saya terfikir, apa manfaat yang saya peroleh. Erm, takde!. Kan dah membazir 3 jam. Jikalau saya ada Al Hilm ketika itu, kan saya dah menyelamatkan 3 jam saya.
Sama juga ketika ikhwah mula mula menjinakkan diri di dalam dunia pem’blog’an ini. Blog yang saya dan mereka kendalikan akhirnya terjebak di dalam kancah perdebatan berkaitan dengan jemaah. Saya alhamdulillah dengan sebaik mungkin cuba menjawab dengan cara yang terbaik yang tidak menyinggung mana mana pihak (tak tau hasilnya), tetapi malangnya terdapat segelintir ikhwah yang tidak senang duduk dengan perdebatan tersebut. Masing masing cuba untuk melihatkan kebenaran sendiri. Perdebatan yang atas dasar syok sendiri pasti akan melibatkan emosi dan itu nyata sekali akan memberi dampak yang negatif bagi ukhuwah islamiyyah. Setiap jawaban di jawab dengan pantas tanpa perlu membaca semula soalan. Dan jawaban itu tidak pernah di bacaulang untuk melihat jenis tulisan yang mereka tuliskan, adakah ia bersikap rasional atau lebih kepada emosional. Tulisan yang emosional biasanya akan membawa kepada perpanjangan debat yang menghiris jiwa yang membacanya. Manakala tulisan yang rasional akan memberi kepuasan bagi si penanya dan menutup peluang syaitan untuk mengobarkan api permusuhan. Jadi pesan saya buat ikhwan dan akhwat sekalian, jauhkanlah diri dari perdebatan, dan andai mahu juga memberi penjelasan, maka letakkanlah Al Hilm dalam dirimu. Insyaallah, tulisanmu akan menjadi tulisan yang bererti.
1 comment:
Rajutan Cinta dari Sebuah Helm
2 Peb 07 06:36 WIB
Oleh Muammar
Ketika sedang sibuk menyelesaikan berkas-berkas pekerjaan di kantor, saat sebuah ring tone berbunyi sebagai pertanda ada SMS masuk ke HP-ku, waktu telah menunjukkan pukul 13.30 WIB. Segera saja aku baca SMS itu yang ternyata dari isteriku tercinta.
“ Bi, .. nanti sore Abi tidak usah menjemput umi, umi sudah pulang duluan, soalnya agak pusing, tapi insya Allah umi masih terus shoum “. Begitulah bunyi SMS itu. Maklumlah pagi tadi ketika aku mengantarkan isteriku berangkat kerja di sebuah sekolah “Islamic Fullday School” di bilangan Cibubur Jakarta Timur, aku telah berjanji untuk menjemputnya lagi sepulang kerja dari kantor.
Setelah membaca SMS itu, aku biasa saja, aku pikir mungkin dia belum siap untuk puasa sunnah lagi, apalagi hari itu adalah hari pertama kami memulai puasa 6 hari di bulan Syawal setelah kurang lebih 2 minggu kami bersilaturrahim Iedul fitri kepada orang tua dan sanak saudara di daerah Ponorogo Jawa Timur dan Salatiga Jawa Tengah.
Begitulah setelah pulang kerja aku tidak menjemput isteriku dan langsung pulang ke rumah. Kulihat isteriku sedang beristirahat sambil menunggu saatnya buka puasa.
Malam hari ketika kedua buah hati kami sudah tidur, seperti biasa kami berbincang santai, berdiskusi masalah anak-anak, lingkungan kerja dan lain-lain. Aku juga menyanyakan ketika pulang kerja tadi naik apa. Isteriku menjawab, “tadi diantar Pak Subarkah (sebut saja namanya begitu) pakai sepeda motor.” Kata isteriku dengan santai pula. Tapi tidak dengan aku. Jantungku tiba-tiba berdetak agak keras, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja dikatakan oleh isteriku, karena kata-kata itu terdengar sangat asing bagiku.
Seperti tidak terjadi apa-apa, aku mulai bertanya secara perlahan kepada isteriku bagaimana kronologis kejadiannya sampai dia bisa pulang diantar oleh Pak Subarkah.
”Tadi setelah istirahat siang, rasa pusing itu sudah tidak tertahankan lagi, walau dari pagi dicoba untuk dikuat-kuatkan, kemudian aku minta tolong untuk diantar teman Akhwat satu ruangan, tetapi karena teman akhwat tadi sedang sibuk sekali dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, maka dengan sangat terpaksa aku diantar oleh Pak Subarkah pakai sepeda motor, yang kebetulan saat itu sedang berada di depan ruangan, ” Isteriku menjelaskan dengan detail tanpa ada yang ditutup-tutupi sedikitpun.
Aku pun maklum, karena hal seperti itu sudah lazim di mana-mana, apalagi di sebuah tempat kerja yang karyawannya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hal seperti itu sudah biasa terlihat sehari-hari.
Mulailah kami berdiskusi agak serius. “Umi…., memang hal seperti itu biasa saja, tapi sebagai aktivis dakwah yang sepak terjangnya selalu dipantau oleh masayarakat, ada hal-hal tertentu yang sudah tidak boleh dilakukan, seperti berboncengan dengan seorang laki-laki yang bukan muhrim” ujarku mulai menasehatinya. “ Iya memang.., umi pun sebenarnya juga sudah tidak mau, tapi karena benar-benar terpaksa dan tidak ada yang dimintai tolong lagi untuk mengantar, maka jadilah Pak Subarkah yang mengantarkan, lagian usianya juga sudah tua, terus umi juga menaruh tas di tengah jok sebagai pembatas ” jawab isteriku.
“Okelah … kalau memang benar-benar sangat terpaksa dan tidak ada akhwat yang bisa mengantar, akan lebih baik jika menggunakan jasa ojeg saja, sebab sesudah itu tidak ada urusan apa-apa lagi, dan yang penting hal ini menjauhkan kita dari fitnah.” Ujarku yang terus diiyakan oleh isteriku sebagai tanda bahwa kami sepakat tentang solusi atas permasalahan ini.
Kemudian aku menambahkan lagi, “kita harus berlindung kepada Allah SWT dari segala macam bentuk fitnah sekecil apapun, mungkin umi bisa menjaga hati untuk tidak mempunyai perasaan apa-apa, tetapi bagaimana dengan Pak Subarkah? Apakah dia mampu menjaga hatinya dari segala macam bentuk fitnah yang tidak diperkirakan sebelumnya, bagaimana pula jika hal itu terlihat oleh teman sehalaqah? Apakah itu tidak akan menimbulkan fitnah? “ Jelasku agak panjang lebar.
“ Iya bi… umi ngaku khilaf, dan lain kali tidak diulangi lagi “. Jawab isteriku dengan manja dan kemudian aku kecup keningnya menutup pembicaraan kami malam itu.
Dua hari sudah berlalu dari peristiwa itu. Suatu pagi ketika isteriku akan berangkat kerja dengan sepeda motor, dia minta izin meminjam helm-ku yang besar, orang biasa menyebutnya “helm cakil” karena semua bagian kepala tertutup kecuali hanya bagian mata saja yang terbuka.
“Emangnya helm umi ke mana?” Tanyaku sambil melirik ke dinding tempat gantungan helm, yang ternyata baru aku sadari bahwa helm isteriku sudah tidak ada di situ sejak 2 hari yang lalu. “Kemarin…, waktu Pak Subarkah habis mengantar umi, dia meminjam helm “ jawab isteriku agak gugup, karena dia tahu bahwa aku pasti kurang berkenan dengan hal ini. Kali ini aku tidak memperbolehkan isteriku meminjam helmku dan aku berpesan padanya agar helm yang dipinjam oleh Pak Subarkah segera dikembalikan, karena isteriku sendiri sangat memerlukannya.
Akhirnya pagi itu isteriku berangkat kerja dengan tidak menggunakan helm, walaupun kami tahu bahwa di daerah itu banyak sekali razia/ operasi yang dilakukan oleh Polisi lalu lintas. Ini adalah sebuah pembelajaran yang berharga bagi kami.
Ternyata proses penagihan sebuah helm yang dipinjam oleh Pak Subarkah tidaklah semudah yang dibayangkan. Setiap hari selalu ada saja alasannya sehingga helm itu lebih dari satu minggu belum juga kembali. Yang karena lupa, ketinggalan, tidak masuk kerja, dan berbagai macam alasan lainnya sehingga membuat isteriku menjadi enggan untuk menagihnya, dan kami pun tidak berharap lagi helm itu akan kembali.
Tapi anehnya selama helm itu belum kembali, isteriku selalu tersenyum kecut bila mengetahui aku melihat ke arah dinding tempat gantungan helm dan mendapati helm itu sudah tidak ada. “ Ya… sudahlah tidak usah diingat-ingat lagi.” Kata isteriku mencoba menghiburku.
Dua belas hari sudah helm itu tidak ada di tempat gantungannya. Dan selama itu pula isteriku selalu meminjam helmku untuk keperluannya. Tetapi sejujurnya dalam hati, aku masih berharap suatu hari helm itu akan kembali kepada kami. Bukan karena harganya yang mahal dan bukan pula karena bagus barangnya, tetapi aku khawatir helm itu akan menjadi penyebab terjadinya fitnah, atau kurang baiknya hubungan kerja antara isteriku dan Pak Subarkah.
Akhirnya suatu sore ketika aku menjemputnya di sekolah tempat dia bekerja, saat aku duduk di bawah pohon rambutan yang banyak tumbuh di pelataran sekolah itu, samar-samar aku lihat di kejauhan isteriku sedang menenteng buku-buku dan membawa sesuatu. Segera saja aku kenakan kaca mata minusku untuk lebih memperjelas pandanganku. Dan…. Subhanallah … isteriku tersenyum manis sekali laksana sebuah senyum kemenangan setelah mengalahkan sesuatu yang besar. Dia telah berhasil mendapatkan kembali helm kesayangannya itu.
Rupanya siang tadi Pak Subarkah telah mengembalikan helm yang dulu pernah dipinjamnya entah telah berapa hari lamanya.
Memang Allah SWT Maha Bijaksana. Dia berkuasa menjadikan apapun sebagai tadzkirah/ peringatan bagi manusia. Tinggal kita, apakah mampu mengambil hikmah dari semua peristiwa yang terjadi sehari-hari di sekeliling kita. Rupanya kali ini Allah SWT memberikan hikmah kepada kami melalui sebuah benda sederhana yang bernama “helm”. Benda itu seolah-olah merajut kembali cinta suci kami yang karena kesibukan masing-masing terkadang lupa untuk memberikan perhatian yang lebih walaupun hanya lewat telepon maupun ungkapan kata melalui SMS.
Terima kasih isteriku, Qurrota ‘aini (penyejuk mata) begitulah aku menganugerahkan gelar padanya. “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu datanglah kemudahan “(QS. 94;6).
Muamar Kh.
-just a copy from eramuslim.
Post a Comment